UPIN IPIN: THE DARKEST SECRET - BAB 10
“DOSA TERAKHIR”
WARNING: cerbung ini akan memuat konten dewasa
Kereta itu mulai berjalan meninggalkan stasiun. Gerbong itu amat sepi. Bahkan hanya ada tiga orang sahaja yang duduk di sana. Susanti, anaknya Udin, dan seorang pemuda dengan kepala plontos.
Pemuda itu sedang menatap sawah-sawah yang membentang di luar jendela ketika kereta mereka bergerak meninggalkan Kampung Durian Runtuh.
Seorang masinis datang dan memeriksa karcis mereka.
“Cik Susanti?” tanyanya sambil membaca nama dalam tiket wanita itu dan melubanginya. Susanti mengangguk.
Perhatian masinis itu beralih ke pemuda yang duduk di hadapannya. Ia menyerahkan karcisnya.
“Upin?”
Pemuda itu mengangguk dan tersenyum, lalu menerima kembali karcisnya yang telah dibolongi. Masinis itupun berjalan menuju gerbong berikutnya.
Iapun mengelus kepalanya yang botak sambil mendesah pelan.
“Kau yakin akan ikut denganku ke KL?”
“Apa lagi yang bisa kulakukan?” ujar Susanti sambil mengelus kepala Udin yang tengah tertidur di pangkuannya. Dalam hati ia berpikir, anaknya itu memang sangat mirip dengan Ipin saat ia masih kecil. Mungkin saja akan lebih lucu jika ia memiliki anak kembar.
“Apa yang terjadi malam itu?” tanya Susanti, “Kau tak pernah menceritakannya kepadaku.”
“Ia memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Padahal aku pikir ia akan menembakku, namun ...”
“Ia bersiap menanggung semua kesalahanmu, bukan? Pasti itu yang ia lakukan.” bisik Susanti, “Aku mengenalnya semenjak dulu. Ia tak pernah berubah. Selalu melindungimu.”
“Katanya jenazah Ehsan dan Jarjit sudah diperiksa oleh forensik dan cepat atau lambat mereka akan menemukan DNA-ku di sana. Karena kami kembar, maka polisi akan bingung untuk menentukan siapa di antara kami pelakunya. Lagipula, cepat atau lambat pasti ada yang menyadari kematian orang itu, saudara ketiga kami.”
Susanti menggeleng dengan sedih,
“Seharusnya semua tak berakhir seperti ini.”
“Lalu seharusnya seperti apa, Santi?” tanyanya dengan nada tenang, “Justru inilah penyelesaian terbaik menurutku. Akhirnya kita akan hidup tenang dan bisa memulai segalanya dari awal.”
Susanti mengeluarkan bekalnya.
“Sudahlah, jangan bicarakan masalah ini lagi.” Ia mengulurkan nasi bungkus ke tangan pemuda itu, “Makanlah nasi lemak ini. Aku membuatnya khusus untukmu.”
Ia tersenyum.
“Aku selalu bisa mengandalkanmu, Santi.”
Pemuda itu memakannya tanpa curiga, namun tak lama sebelum ia merasakan ada sesuatu yang aneh.
“A ... apa ini ...”
Pemuda itu merasakan tenggorokannya merasa tercekik. Iapun berusaha memuntahkan makanan itu, namun yang keluar hanyalah darah.
“A ... apa yang kau lakukan ...” pemuda itu ambruk dan berusaha menggapai wanita itu, namun ia hanya menatapnya dengan dingin, tak berusaha menolongnya.
“Ke ... kenapa Santi ...” ia berbisik dengan tenaga terakhirnya, “Bukankah ini semua rencana kita berdua ...”
“Jika kau mencintaiku, kau akan menikahiku sejak dulu!” bisiknya tanpa perasaan. “Sudah lama aku menantikan saat-saat seperti ini, supaya aku bisa akhirnya membalaskan dendamku! Dendam kedua orang tuaku!”
Seakan tak cukup melihatnya menderita, Susanti mengulurkan tangannya dan mencekik leher pemuda itu.
“Aku sudah menantikannya selama bertahun-tahun ... “
***
Susanti menangis ketika melihat ayahnya menyiramkan minyak tanah ke tubuhnya dan juga ke mobil yang ditumpanginya. Sementara itu, gadis cilik itu hanya meringkuk ketakutan di ladang jagung.
“A ... Ayah ...” isak gadis itu, “Apa yang Ayah lakukan?”
“Pergi dari sini, Santi, cepat!” seru ayahnya, “Kau tak ingin melihatnya!”
“Ayah ... jangan pergi ...” otak kecil Susanti sudah bisa mencerna apa yang ayahnya coba lakukan saat ini, “Jangan tinggalkan Santi ...”
“Hanya ini satu-satunya cara, Santi. Maafkan Ayah ...” pria itu ikut terisak, “Tak ada jalan lain. Ayah sudah tak memiliki uang lagi. Ayah tak bisa menghidupimu lagi. Setelah kematian Ayah, kau akan mendapat uang yang sangat banyak dari asuransi Ayah. Kau bisa menggunakannya untuk hidup.”
“Ayah ...” Susanti masih terus meratap, “Jangan lakukan ini ...”
“Ingat Santi, kau harus tetap hidup! Hanya inilah alasan kita menetap di Malaysia; untuk membalaskan kematian ibumu! Balaskan dendam keluarga kita, Santi! Jangan lupakan pesan Ayah ini!”
Iapun menyalakan api dan menyulut tubuhnya sendiri. Dengan segera, mobil itu terbakar dan meledak tepat di hadapan gadis kecil itu.
“AYAH!” jeritnya, “AYAAAAAH!!!”
***
“Ke ... kenapa ...” pemuda itu masih tak mengerti. Ia masih tercekik, berusaha menghela napas yang mungkin akan menjadi yang terakhirnya, “Apa yang pernah kulakukan padamu?”
“Apa kau tak ingat?” ujar Susanti penuh kebencian, “Apa kau tak ingat apa yang sudah kau lakukan pada ibuku?!!”
***
“Ayah, apa kita akan sampai?” tanya Susanti kecil begitu ia terbangun dari tidurnya. Saat itu mereka sekeluarga berada dalam sebuah kereta.
“Belum. Nak.” Ibunya yang menjawab, sementara ayahnya masih tertidur pulas. “Kereta kita masih berhenti di tengah sawah untuk menunggu persilangan dengan kereta lain.”
“Dimana ini?” Susanti cilik menggosok-gosok matanya sambil menguap.
“Entahlah. Kampung Durian Runtuh Ibu rasa. Itu yang Ibu lihat di stasiun sebelumnya.” Ibunya tersenyum, “Jangan khawatir, setibanya di Kuala Lumpur kita akan segera kembali ke tanah air.”
Namun tiba-tiba ...
“PYAAAAAAR!!!”
“IBUUUU!!!” jerit gadis cilik itu.
Sekonyong-konyong kaca jendela tepat di samping ibunya pecah berkeping-keping. Sebuah batu telah dilemparkan ke dalam dengan kencang dan langsung bersarang di kepala ibunya bak peluru. Belum lagi, pecahan-pecahan kaca yang tajam langsung menusuk mata dan kepala ibunya tanpa ampun.
Kepala ibunya langsung limbung dan berlumuran darah. Bahkan, darah ibunya sendiri terciprat ke wajah Susanti.
Itulah nasib mengerikan yang diterimanya di negeri asing itu.
Menyaksikan kematian ibunya sendiri tepat di depan matanya.
Dengan geram dan mata masih berlinang air mata, ia menatap ke luar. Dilihatnya di luar jendela, beberapa anak berlari di tengah sawah, tengah mencoba melarikan diri.
Ia melihat dengan jelas dua anak di antaranya berkepala gundul. Salah satunya memegang ketapel.
“Upin! Ipin!” ia mendengar teriakan Tuk Dalang memanggil nama mereka.
Dalam tinta kebencian.
BERSAMBUNG
Posting Komentar