REVIEW (1/2) AMERICAN HORROR STORY 1984: THE BEST SEASON YET?
Hi guys! Beberapa kali readers gue minta gue untuk mereview American Horror Story (AHS). Bagi kalian penggemar horor pastinya sudah tak asing dengan serial yang udah dapet critical acclaim dan dapat berbagai penghargaan juga di negara asalnya. Namun sayangnya, gue kurang sreg ama serial ini. Satu-satunya season yang gue tonton adalah “Roanoke” yang pernah gue bahas juga di blog. Season itu menjadi season AHS pertama yang gue tonton karena gue demen ama genre found footage dan meta-horrornya. Namun sayang, gue denger justru banyak kritikus menyatakan bahwa season itu adalah season “terlemah” (bahasa halusnya untuk “terjelek”) di antara season-season lain. Gue mencoba untuk menonton yang katanya season terbaik AHS, yakni “Asylum”, namun hasilnya gue berhenti di episode keempat. Sumpah, menurut gue (di luar plot twistnya), serial ini ceritanya cuma muter-muter nggak jelas dan nggak ada seram-seramnya sama sekali.
Gue akuin emang, selera gue beda ama orang-orang kebanyakan.
Tapi akhirnya kini gue menemukan season terfavorit gue di AHS, yakni season terbarunya, “1984”. Saat tulisan ini gue buat, serial ini baru ditayangkan sampai episode keempat (dari total 10 episode yang direncanakan). Namun twist demi twist membuat gue nggak sabar menunggu kelanjutannya.
Sebelum akhirnya dirilis, udah banyak teaser “1984” yang bertebaran di YouTube, namun jujur, tak ada satupun yang benar-benar membuat gue tertarik. “1984” berbeda dengan season-season lainnya karena berupa slasher retro yang menjadi homage bagi film-film ala 80-an. Slasher adalah salah satu genre favorit gue, maka dari itu, walaupun gue kurang terkesan dengan teaser-teasernya, akhirnya gue mutusin buat menontonnya.
Namun ternyata gue malah jatuh cinta dengan season. Akan gue ceritakan kenapa, namun lebih dulu gue berikan recap-nya. “1984” diawali dengan kasus pembantaian di sebuah kamp musim panas bernama “Camp Redwood” dimana seorang pembunuh berantai bernama Mr. Jingles (yeah, I know. At first I thought it was a stupid name) yang menghabisi semua konselor dan peserta kamp musim panas itu. Dari jalan ceritanya sih udah ala-ala film slasher ala 80-an semacam “Friday The 13th”. Cerita berlanjut 30 tahun kemudian, kamp itu dibuka kembali despite masa lalu kelamnya. Sekelompok konselor baru pun disewa untuk bekerja di sana, salah satunya adalah Brooke yang karakternya tipikal “final girl” banget.
Celakanya, semalam sebelum kamp itu dibuka, bencana muncul ketika Mr Jingles lepas dari rumah sakit jiwa tempatnya ditahan (lagi-lagi, homage untuk film slasher ala 80-an lain, yakni “Halloween”) dan kembali ke Camp Redwood. Tak hanya itu, sosok pembunuh berantai lain bernama “Night Stalker” (yang terinspirasi oleh pembunuh berantai yang benar-benar ada bernama Richard Ramirez) juga mengincar Brooke dan kawan-kawannya. Belum lagi (sesuai dengan ciri khas AHS yang gemar mencampuradukkan berbagai genre horor) tanah dimana Camp Redwood berada juga menyimpan kekuatan mistis.
Jalan ceritanya emang cukup cheesy dan standar “slasher” banget. Sebenarnya jalan cerita yang simpel-simpel aja udah membuat gue sebagai fans berat genre slasher menjadi tertarik. Namun pada episode 3 dan 4 (two of the best episodes so far) twist demi twist terungkap. Ada banyak banget (dan gue bilang, BANYAK) plot twist yang membuat gue menganga. Dan yang lebih menjanjikan, masih ada 6 episode tersisa. Gue nggak sabar menunggu kejutan-kejutan lain yang akan muncul di episode-episode berikutnya.
Kalo boleh komentar, salah satu tokoh favorit gue di kisah ini justru bukan Brooke yang diperankan salah satu ratu horor, yakni Emma Roberts, melainkan Montana yang diperankan Billie Lourd. Di antara tokoh yang lain, dandanannya-lah yang paling “80-an”. Baik busananya, rambutnya, dan make up-nya benar-benar cocok, apalagi dia emang artis yang cantik banget. Itu baru penampilan luarnya, belum lagi karakternya yang bener-bener “bad-ass” dan ilusif.
Sebelum dirilis, banyak fans yang menyatakan “kecewa” dengan season ini karena “1984” akan kehilangan “veteran-veteran” yang sudah membuat nama AHS melambung tinggi. Nama-nama seperti Sarah Paulson, Jessica Lange, Kathy Bates, hingga Angela Basset dipastikan nggak akan bergabung di season. Namun anehnya, mungkin itu justru jadi alasan kenapa gue begitu menyukai season itu. Nama-nama yang gue sebut semuanya adalah aktris watak dengan kemampuan akting yang mumpuni. Karakter-karakter yang dibuat untuk merekapun emang dirancang buat menampilkan kekuatan akting mereka yang kuat itu. Namun sayang, seringkali, justru karakter-karakter itulah yang dipedulikan oleh penulisnya, hingga mengabaikan jalan cerita. Pokoknya dibikinkan scene dimana mereka bisa “nangis-nangis” atau karakternya dibuat sedalam mungkin hingga makan porsi jalan ceritanya. Semua ini menurut gue malah menjadi konsentrasi penulisnya, alih-alih memberikan apa yang menjadi bagian judul serial ini, yakni “Horror”. Jadi gue bersyukur banget aktris-aktris di atas udah lenyap, at least buat season ini hehehe.
Namun kalo gue boleh kritik nih, tetap ada beberapa kekurangan yang gue jumpai. Kesan suasana retro ala 80-an kurang gue rasakan di film entah kenapa. Mungkin karena lokasi syutingnya di tengah hutan, jadi emang mereka nggak bisa mengeksplornya terlalu dalam. Selain itu musiknya. Jika membahas 80-an, yang terbayang adalah musik ala John Carpenter. Tapi gue rasa scoring ala 80-an-nya kurang mengena. Opening creditnya pun datar banget. Bisa dibilang masih kalah ama openingnya “Stranger Things” yang emang dibuat ala-ala 80-an dari musik sampai font judulnya dan bener-bener bisa membangkitkan kengerian. Akan tetapi kekurangan-kekurangan itu amat minim kok dan sama sekali nggak menganggu pengalaman kalian menikmati film ini.
Well, itu saja yang bisa gue review ke kalian. Ketika sudah sampai di episode 10 alias tamat, baru gue bisa kasi review menyeluruh tentang serial ini. But for now, gue kasi skor 5 CD berdarah untuk AHS season terbaru ini. Definitely worth to watch!
SUMBER GAMBAR: IMDB
Posting Komentar