THE DARK SIDE OF GAMING: KASUS KEMATIAN BRECK BEDNAR



Apa sih dampak game online bagi remaja saat ini? Mungkin kalian banyak yang menampik kalo game memiliki sisi negatif bagi pecandunya? Ada yang menyatakan bahwa game memicu tindak kekerasan, seperti yang ramai dilontarkan setelah kasus penembakan di sebuah masjid di New Zealand. Namun banyak penelitian malah menunjukkan hal sebaliknya, bahwa game tidak memicu kekerasan. Namun ternyata game online bisa dimanfaatkan dengan mudah oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Kasus yang menimpa Breck Rednar, seorang remaja berusia 14 tahun dari Inggris ini menjadi contohnya. Pada 17 Februari 2014, Breck diundang ke apartemen temannya yang ia kenal dengan akrab melalui game online dan di sana, ia menemui ajal dengan sangat menggenaskan.

Readers, inilah Dark Case kali ini.

Orang tua Breck Rednar berasal dari Amerika Serikat dan memiliki tiga orang anak, sebelum akhirnya memutuskan pindah ke Inggris. Berasal dari keluarga berada, Breck disekolahkan di sebuah sekolah swasta Kristen dan dikenal sebagai siswa cerdas dan tak banyak ulah. Ia dikenal sebagai pemuda yang ramah, mudah berteman, dan sangat passionate dengan lmu komputer. Hobi utamanya adalah bermain game online di kala sengangnya, salah satu game favoritnya adalah “Call of Duty”. Terdengar seperti kehidupan keluarga normal bukan?

Namun kehidupannya berubah ketika ia bergabung ke dalam sebuah grup online gaming dan berteman dengan seorang pemuda dengan selisih umur yang tak jauh berbeda bernama Lewis Daynes. Lewis dikenal sebagai sosok yang “otoriter”, memiliki kendali penuh atas grup tersebut, bahkan bisa mengeluarkan siapapun yang ia mau.

Semenjak perkenalannya tersebut, kepribadian dan perilaku Brent mulai berubah. Brent mulai menolak untuk pergi ke gereja bersama orang tua. Mengetahui perubahan perangai anaknya tersebut, orang tua Brent menyalahkan pergaulannya dengan Lewis dan mulai membatasi koneksi internet serta memintanya untuk tidak berteman lagi dengannya.

Tentu saja, sebagai seorang remaja, Brent tak menuruti perintah orang tuanya itu.

Pengaruh negatif apakah yang dicekoki Lewis ke kepala Brent kala itu? Konon Lewis mengatakan hal-hal yang mustahil, seperti ia memiliki kekayaan jutaan dollar karena berinvestasi dengan bitcoin, menyumbangkan uangnya ke pemberontak Syria, hingga menyuruh anggota-anggota grupnya untuk tak usah menyelesaikan sekolah, karena ia akan memberikan pekerjaan di bidang IT dengan gaji 100 ribu euro.

Celakanya, persahabatan online itu berjalan hingga setahun.

Keluarga Breck yang mulai khawatir kemudian melaporkan perilaku itu kepada polisi. Namun tentu saja, laporan itu diabaikan karena toh, apa yang bisa mereka lakukan? Itu hanya dua anak yang melakukan chat di game online, tanpa kejahatan sesungguhnya yang benar-benar mengejawantah.

Hingga akhirnya, pada hari naas itu, Breck pamit kepada orang tuanya bahwa ia akan bermain ke rumah salah satu teman sekolahnya yang berusia sama dengannya, yakni 14 tahun. Padahal kenyataannya, Breck hendak kopdar dengan Lewis yang sama sekali belum pernah ditemuinya langsung dan kala itu berumur 18 tahun.

Ketika Breck tak kunjung pulang, sang ayah mulai curiga. Berjam-jam kemudian, salah satu adik Breck menerima sebuah link ke sebuah akun social media yang menunjukkan foto jenazah kakaknya. Yah, ketika foto itu telanjur viral, barulah orang tua Breck mengetahui nasib naas anaknya dan melapor pada polisi.

Sang pembunuh, Lewis Daynes, tak hanya menyombongkan foto korbannya ke media sosial, namun juga mengaku dan menelepon 999 (ekuivalen dengan 911 di Amrik) bahwa ia dan temannya terlibat pertengkaran dan hanya dia yang “berhasil keluar hidup-hidup”. Polisi dan paramedis segera bergerak ke TKP dan tercengang melihat apa yang terjadi. Breck ditemukan dengan bekas ikatan di tangan kakinya dan luka tusukan menganga di lehernya.



Lalu siapa Lewis Daynes dan mengapa ia berbuat sekeji itu pada teman game online-nya itu? Lewis adalah seorang anak tunggal yang setelah perceraian orang tuanya, ditinggalkan untuk hidup seorang diri di kamar apartemen miliki kakek neneknya. Tetangga-tetangganya menyebutnya sebagai seorang “penyendiri” yang hanya menghabiskan waktunya menganggur sambil bermain video game. Psikiater juga memvonis Lewis dengan “Asperger Syndrome”, suatu spektrum autistik yang menyebabkan penderitanya sukar bersosialiasi dan kurang peka terhadap sekitar (walaupun jelas diagnosis ini bukan berarti semua penderita Asperger Syndrome memiliki kemampuan untuk berbuat kriminal).

Lewis juga tampak dingin dan terlihat lebih muda ketimbang umurnya, sehingga publik menyebutnya sebagai “Babyface Killer”. Inilah sosoknya yang sebenarnya.


Semenjak kematian anak mereka, orang tua Breck mengabdikan hidup mereka untuk meningkatkan awareness tentang “online grooming”. “Online grooming” didefinisikan sebagai mendekati korban, mencoba berteman dengannya, namun dengan tujuan yang jahat.


Apakah yang bisa kita pelajari dari kasus Breck Bednar ini? Berhati-hatilah pada siapapun yang kalian temui di internet, apakah itu dari game online maupun media sosial, sebab kita takkan pernah tahu siapa dia sesungguhnya. Mungkin saja itu adalah seorang psikopat  sadis yang tengah mencari mangsanya. Kita tak pernah tahu. Toh, sebelum dibunuh, Brent sudah berteman dengan Lewis Daynes selama setahun.